Suara NU Pancoran Mas, 25/10/2017
Terungkap sudah alasan Walikota Depok tidak mengadakan Hari Santri Nasional di Balaikota Depok 22 Oktober 2017. Bukan karena tidak ada surat undangan. Bukan karena tidak ada himbauan. Bukan karena tidak ada ajakan. Bukan karena tidak ada pemberitahuan. Bukan karena adanya tidak ada informasi. Sebab, se Indonesia pun sudah tahu, bahwa tanggal 22 Oktober adalah Hari Santri Nasional. Tetapi, karena seremoni Hari Santri dalam bentuk upacara menurutnya tidak substansial (tidak penting). Substansi hari santri menurutnya adalah bagaimana memerankan santri dan pemerintah peduli terhadap santri. "Bukan hari santrinya, untuk apa seremonial hari santri namun kita tak perduli terhadap santri". Katanya sebagaimana diberitakan Rahmat Tarmuji dalam laman Jurnal Depok.Id, 25 Oktober 2017.
Jika mengikuti alur logika berpikir Walikota Depok secara konsisten, maka dengan demikian untuk apa seremonial-seremonial hari besar nasional yang ada, untuk apa Apel Pegawai Negeri Sipil dan Aparatur Sipil Negara setiap pagi jika pemerintah tidak perduli PNS?. Untuk apa Apel Polisi dan TNI di setiap pagi, jika atasannya tidak perduli kepada kesejahteraannya?. Untuk apa Upacara HUT RI jika Pemerintah tidak perduli kepada rakyatnya?. Untuk apa upacara Hari Amal Bakti Kementerian Agama jika Menteri Agama tidak perduli dengan pegawainya?. Beranikah Walikota mengatakan apel-apel itu dan Upacara HUT RI itu tidak penting dan tidak substansial?.
Padahal, upacara-upacara dan seremoni-seremoni itu juga merupakan bentuk, wujud dan cara kepedulian dan solidaritas. Jika upacara saja tidak mau, jika apel saja menolak, bagaimana bisa dikatakan perduli terhadap santri, terhadap guru, terhadap TNI/Polri, terhadap rakyat, terhadap pahlawan, dll. Substansi atau tidaknya bergantung kepada bagaimana cara dan konsep yang digunakan untuk sampai kepada substansi tersebut (lil wasa'il hukmul maqosid). Dalam upacara menaikkan bendera merah putih, secara konseptual diharapkan muncul rasa penghormatan kepada perjuangan para pahlawan dari para peserta upacara dan keinginan untuk melanjutkan perjuangan pahlawan dalam membela tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peringatan Hari Santri Nasional adalah upaya untuk mengingatkan kembali bangsa ini kepada perjuangan para santri dalam membela tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika tidak diperingati dan diingatkan, maka dikhawatirkan bangsa ini lupa kepada nilai-nilai perjuangan yang telah dikobarkan oleh ulama' dan santri. Lupa bahwa NKRI sudah merupakan konsensus ulama dan para santrinya. Lupa bahwa NKRI dan Pancasila buah dari perjuangan kaum santri Indonesia. Lupa bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang rahmatan lil alamin dan cinta tanah airnya. Apel Hari Santri Nasional juga diharapkan menjadi syiar Islam kebangsaan di Kota Depok dan bisa mengatasi ancaman yang datang ke Depok berupa radikalisme fundamentalisme agama maupun radikalisme sekulerisme sebagaimana yang sering diingatkan oleh KH Ma'ruf Amin, Rois Am PBNU.
Apakah Bapak Walikota sudah lupa dengan peran Santri dan ingin melupakannya? Apakah syiar Islam Kebangsaan menurut Pak Walikota tidak substansial? Apakah Bapak biasa-biasa saja menghadapi ancaman ideologi wahabisme di Kota Depok. Kami hanya ingin bertanya, kenapa bisa begitu? Bukankah bapak mengaku Santri tulen? Kenapa tidak berinisiatif mengadakan Apel Hari Santri Nasional di Balaikota? Jujur saja, visi religius Depok yang dikonsep Bapak kami pertanyakan karena meremehkan hari yang dapat membangkitkan semangat religiusitas dan nasionalisme di Kota Depok!. (Tim redaksi)
Komentar
Posting Komentar